Catatan Kuliah: Realisme Struktural Pasca Perang Dingin



Kenneth Waltz meneliti bahwa ada tiga perkembangan yang terlihat menjadi transformasi keadaan dunia pasca Perang Dingin; perkembangan demokrasi, pertumbuhan interdependensi dan munculnya institusi-institusi internasional. namun demikian, Waltz menolak asumsi bahwa tiga perkembangan telah memberikan kontribusi besar terhadap promosi perdamaian dalam hubungan internasional dan dengan demikian menganggap bahwa realisme telah menjadi perspektif yang usang. Waltz tetap dengan keyakinannya bahwa realisme masih mempertahankan kekuatannya dalam menjelaskan kondisi-kondisi dunia kontemporer dan berargumen bahwa bukti-bukti telah mulai menunjukkan, sesuai dengan teori balance of power, bahwa sistem unipolar akan disingkirkan oleh sistem multipolar.

Bertolak berlakang dengan argumen Waltz, beberapa penstudi Hubungan Internasional percaya bahwa realisme sudah tidak relevan. Mereka berpendapat bahwa meskipun konsep realisme tentang anarchy, self-help, dan balance of power mungkin sangat cocok dengan era lama, namun konsep ini telah digantikan oleh konsep lain akibat kondisi-kondisi yang berubah dan munculnya ide-ide yang lebih baik. Kondisi-kondisi yang baru ini, dalam pemahaman mereka, telah meminta pemikiran-pemikiran yang baru pula, baik revisi teori maupun teori baru dan berbeda.

Democratic and Peace

Akhir dari Perang Dingin datang bersamaan dengan munculnya gelombang demokrasi. Trend demokrasi ini, sejalan dengan temuan Michael Doyle, memiliki kecenderungan bersikap damai yang merupakan sifat-sifat demokrasi liberal dan dipercayai telah berkontribusi besar dalam membentuk pemikiran bahwa perang merupakan cara yang usang, paling tidak pada sesama negara industri. Sebagian dari teoritis liberal berpendapat bahwa sesama negara demokrasi cenderung tidak akan berperang selama ia tidak membuat kesalahan. Namun demikian, tetap terdapat kritik bahwa kesimpulan demikian tidak begitu didukung dengan data statistik yang cukup memadai. John Mueller sempat berspekulasi bahwa bukan demokrasi liberal-lah yang menciptakan perdamaian, namun kondisi-kondisi tertentulah yang menyebabkan demokrasi dan perdamaian itu muncul. Kita dapat melihat situasi ketika AS sempat menggulingkan pemerintahan demokratis Juan Bosch di Republik Dominika yang dianggap tidak mampu mengatur negara. Kemudian reaksi AS terhadap terpilihnya Salvador Allende sebagai Presiden Chile secara demokratis. AS merongrong pemerintahan Chile selama dibawah pemerintahan Allende. Hal ini menjadi semacam kontradiksi sementara kaum liberal berpendapat bahwa demokrasi akan membawa perdamaian. Contoh pertama meruntuhkan anggapan bahwa sesama negara demokrasi tidak akan ingin berkonflik maupun perang. Buktinya AS malah ikut campur dengan mengirimkan 23.000 tentara ke Republik Dominika dan menciptakan perang yang tidak penting di sana. Salvador Allende, terpilih sebagai Presiden Chile dengan cara yang demokratis, namun akibat pemikiran Allende sendiri didasari oleh Marxisme, maka AS merongrong pemerintahannya hingga ia digulingkan oleh militer.

Waltz membantah pernyataan para penganjur demokrasi liberal bahwa demokrasi menghasilkan perdamaian. Ia juga menyangkal bahwa negara demokrasi yang sedang berperang sama sekali tidak bisa disebut sebagai demokrasi liberal. Demokrasi mungkin akan berdamai dengan demokrasi lainnya, namun, meskipun seluruh negara telah menjadi demokratis, struktur dari politik internasional akan tetap anarchy. Struktur politik internasional tidak akan pernah bertransformasi disebabkan oleh perubahan-perubahan yang terjadi di dalam internal suatu negara, meskipun penyebaran ide-ide perubahan tersebut mungkin. Ketiadaan otoritas external, menyebabkan satu negara pun tidak bisa menjamin bahwa musuh mereka saat ini tidak akan menjadi musuh di masa depan. Bahkan, demokrasi sekarang menunjukkan seolah-olah bahwa negara demokrasi lain merupakan musuh sekarang dan ancaman untuk masa yang akan datang.

Dipertengahan abad kesembilanbelas, AS dan Inggris menjadi lebih demokratis, namun demikian rona-rona permusuhan muncul diantara mereka. Mereka sama-sama menginginkan Atlantik. Perancis dan Inggris juga sering dalam keadaan tegang sebab mereka berada dalam pusaran kekuatan politik terbesar di dunia yang mana mereka telah lebih dulu menjadi negara besar. Pada tahun 1914, Inggris dan Perancis berperang dengan negara demokratis Jerman. Akibatnya, Jerman berubah menjadi ancaman. Dalam pemikiran Waltz, jika saat ini yang AS dan Jepang berperang, ia berani bertaruh bahwa banyak orang-orang Amerika yang akan mengatakan Jepang sudah tidak demokratis, tapi merupakan single-party system.

Jadi, yang hanya bisa disimpulkan oleh Waltz adalah bahwa kita mungkin bisa berpendapat bahwa negara-negara demokrasi jarang sekali berperang, namun hanya sekadar basis perdamaian yang sangat rapuh. Karena struktur internasional, bagi Waltz, tidak berubah seperti kebanyakan teoretisi liberalisme beranggapan.

Democratic wars

Negara demokratis hidup berdampingan dengan negara-negara non-demokratis. Meskipun negara demokrasi jarang berperang sesama negara demokrasi, namun mereka masih saja berperang, setidaknya bekerjasama untuk memerangi negara lainnya. Masyarakat di negara demokratis cenderung berfikiran bahwa negara mereka adalah negara yang baik, terpisah dari apa yang mereka lakukan, mereka menganggap mereka benar hanya karena mereka demokratis. Dan apa yang mereka lakukan terhadap negara non-demokrasi secara sederhana diklaim sebagai perbuatan yang benar hanya disebabkan oleh negara yang bersangkutan tidak demokratis. Dalam kondisi seperti ini, demokrasi malah mempromosikan perang ketika mereka mengklaim bahwa untuk mencapai perdamaian, maka negara-negara non-demokratis harus dikalahkan dan mereka harus dipaksa menjadi demokratis.

Kasus ini seperti bisa dibilang ibarat prajurit perang salib. Mereka menjadi sangat mengerikan karena mereka merasa halal berperang dan membunuh karena memperjuangkan kebenaran, kebenaran yang mereka tentukan sendiri, dan dipaksakan terhadap orang lain. Orang-orang mungkin berharap masyarakat Amerika telah belajar banyak bahwa mereka tidak terlalu mahir dalam menciptakan demokrasi di luar negeri. Tapi sayang sekali, bahwa ada pandangan yang cukup sempit bahwa untuk menciptakan dunia yang damai hanya dengan menciptakan demokrasi diseluruhn dunia dan menghalalkan segala cara untuk mencapainya. Malah hal tersebut lebih menciptakan nafsu berperang yang cukup tinggi. Malah kita semakin tidak dapat menyimpulkan bahwa penyebaran demokrasi itu sendiri tidak berjalan dengan maupun menuju perdamaian, ia lebih banyak cenderung menciptakan perang-perang baru.

The weak effects of interdependency

Waltz mengemukakan bahwa interdependensi yang menjadi nilai liberal demokratis memiliki beberapa kelemahan dan rawan. Bagaimanapun, ia menganggap bahwa setiap negara pada hakikatnya tidak menginginkan ketergantungan terhadap negara lain. Sebab mereka tahu bahwa secara rasional, ketergantungan akan menyebabkan mudahnya negara diintervensi. Seperti bagaimana Jepang mengatur perekonomiannya, mereka lebih cenderung membatasi diri untuk tidak terjerumus ke dalam interdependensi yang berlebihan. Setiap negara pun akhirnya bercita-cita agar dapat menjadi negara yang self-sufficient.

Waltz tetap mengakui bahwa negara-negara yang saling ketergantungan memiliki hubungan yang lebih dekat. Namun karena hubungan antar negara itu beragam situasinya, maka negara harus tetap berhati-hati dan menjaga diri dari anarki sistem internasional. Tidak hanya karena masalah ketergantungan, tetapi juga permasalahan apakah sistem tersebut akan bertahan?

Comments

Popular posts from this blog

International Regime “Suatu Pengantar”

Perspektif Behaviourism dalam Memahami Perubahan Paradigma Politik Nuklir Iran pada Masa Pemerintahan Hassan Rouhani

Catatan Kuliah: Critical Theories