Catatan Kuliah: Critical Theories



Aliran pemikiran Frankfurt (Frankfurt School) merupakan sebuah kumpulan para pemikir atau para filsuf yang memiliki lembaga penelitian di Frankfurt Jerman yang didirikan pada tahun 1923, dan pendirinya adalah Felix Weil, yang tak lain merupakan murid dari seorang pemikir Marxian, Karl Korsch. Dari Frankfurt school inilah teori-teori kritis bermunculan (walaupun tidak semua, contohnya Gramsci), maka tak heran bila landasan pemikiran yang diambil dalam teori kritis adalah Marx, bukan tokoh yang lain. Selain itu juga karena kemenangan Revolusi Bolhesvick, kegagalan-kegagalan Revolusi di Eropa Tengah khususnya di Jerman yang membangkitkan Intelektual Kiri Jerman untuk melakukan kajian kembali secara serius mengenai teori marxis khususnya yang berkaitan dengan akal budi dan praktik dalam kondisi-kondisi sosial yang baru, dan adanya pandangan bahwa teori marxis dapat terus relevan dan cocok untuk menganalisis setiap perkembangan sosial.

Walaupun pada awalnya menjadikan pemikiran Marx sebagai titik tolak pemikiran sosialnya, akan tetapi pemikiran Frankfurt mengadaptasi alur pemikiran filosofis Jerman, yaitu pemikiran kritisisme ideal Immanuel Kant dan pemikiran kritisisme historis dialektisnya Hegel. Jadi bisa dibilang pemikir aliran Frankfurt itu sangat lihai karena bukan hanya mengkritisi teori mainstream tapi juga memadukan teori tokoh-tokoh ”sekaliber” Marx, Hegel dan Kant serta melengkapi kekurangan dari Marx dengan pemikiran Max Weber dan Sigmund freud yang memberikan pengaruh besar terhadap aliran ini. Neo Marxis sering mengklaim dirinya sebagai pewaris tradisi Marxisme yang disesuaikan dengan konstelasi jaman, berbeda dengan kaum Marxisme ortodox yang termasuk positivis

Dalam pemikiran kritis, teori tidak hanya semata-mata berurusan dengan benar atau salah tentang suatu fakta. Melainkan mempunyai tugas untuk berpartisipasi dalam memberikan sebuah proses penyadaran kritis terhadap masyarakat, serta memilih bagian mana dari pemikiran-pemikiran Marx yang dapat menolong untuk memperjelas kondisi yang Marx sendiri tidak pernah lihat, membebaskan manusia dari manipulasi teknokrasi modern.

Asumsi yang muncul dari teori kritis yang merupakan bagian dari neo Marxis adalah sifat dasar manusia adalah bukan sesuatu yang pasti atau tidak dapat dirubah, tapi terbentuk dari pengaruh lingkungan termasuk ideologi dan kondisi sosial yang hadir pada saat itu, manusia sebagai individu dapat dikelompokkan berdasarkan identitas dan kepentingan, tidak ada fakta di dunia tanpa pengaruh dari nilai atas interpretasi dan penjelasan mengenai dunia itu sendiri, pengetahuan selalu dihubungkan dengan kepentingan manusia begitu pula dengan teknologi media yang digunakan untuk menyebarluaskan pengaruh kepentingan, termasuk penyebaran teori kritis sendiri, meskipun berbeda semua manusia pada dasarnya berbagi kepentingan dalam upaya emansipasi.

Kritikan di sini sifatnya universal, karena mengkritik semua teori dan semua bidang serta mengkonstruksi pemikiran orang dengan sesuatu yang baru. Kritik dalam pengertian pemikiran Kantian adalah kritik sebagai kegiatan menguji kesahihan klaim pengetahuan tanpa prasangka. Kritik dalam pengertian Hegel didefinisikan sebagai refleksi diri atas tekanan dan kontradiksi yang menghambat proses pembentukan diri-rasio dalam sejarah manusia. Kritik dalam pengertian Marxian berarti usaha untuk mengemansipasi diri dari alienasi atau keterasingan yang dihasilkan oleh hubungan kekuasaan dalam masyarakat. Kritik dalam pengertian Freudian adalah refleksi atas konflik psikis yang menghasilkan represi dan memanipulasi kesadaran. Dalam neo Realis dikenal konsep hegemoni dan anarki, sebenarnya tidak ada yang salah dengan konsep tersebut hanya saja kekurangan yang dikritisi di sini adalah anggapan bahwa semua itu adalahgiven yang statis, padahal kenyataannya Inggris yang dulunya hegemon bisa digantikan oleh AS, bahkan AS yang superpower pun bisa kalah oleh kekuatan Vietnam yang tingkat militer dan persenjataannya lebih rendah, dari peristiwa ini kita bisa mengamati bahwa anarki di sini penuh dengan persaingan, semua negara bisa melakukan apa saja untuk bertahan dan memperoleh kepentingan.

Kontribusi pada Hubungan Internasional
Keberadaan teori kritis dalam menganalisa HI, menambah khazanah teori yang sudah ada, tidak hanya sekedar pemaparan atas realitas sosial tapi juga menganalisis dan memberikan solusi atas kritik yang dibuatnya, yaitu menyerukan perubahan dan menjadikan teori sebagai sesuatu yang bisa dipraktekkan. Dimanapun dan apapun teorinya, kapanpun bisa dijatuhkan asalkan ada pandangan yang rasional, logis, empiris, bersifat obyektif sekaligus subyektif serta bisa diterima dan dibuktikan oleh masyarakat luas. Namun pada saat mempelajari semua yang ada, posisikan bahwa teori itu dibuat untuk kepentingan manusia, agar lebih mudah memahaminya, bukan manusia untuk teori.

Pluralisme
Pluralisme adalah diferensiasi (perbedaan) masyarakat yang dapat diamati pada level individu sebagai diferensiasi peran, pada level organisasional sebagai kompetisi organisasi-organisasi formal, dan pada level masyarakat sebagai pembatasan-pembatasan terhadap fungsi institusi. pluralisme dalam arti pengakuan terhadap keragaman dalam masyarakat dan berbagai prasyarat bagi pilihan dan kebebasan individu, dihadapkan pada dua ekstrem yang berlawanan. (1) pluralisme berhadapan dengan berbagai monisme, seperti teokrasi, negara absolut, monopoli,

Dengan kalimat lain, pluralisme menekankan pengertian deskriptif dan evaluatif, di satu sisi, konsep pluralisme berarti kesadaran akan banyaknya subentitas, sebaliknya di sisi lain mengungkapkan pengakuan positif terhadap pluralisme. Munculnya fenomena pluralisme yang dapat ditelusuri dari tiga mazhab teori besar dalam sosiologi agama diantaranya teori fungsionalisme (Emile Durkheim), kognitivisme (Max Webber) dan teori kritis (Karl Marx). Jadi, Pluralisme bukan hanya mempresentasikan adanya kemajemukan (suku atau etnik, bahasa, budaya dan agama) dalam masyarakat yang berbeda-beda. Akan tetapi, pluralisme harus memberikan penegasan bahwa dengan segala keperbedaannya itu mereka adalah sama di dalam ruang publik.

Mark Neufeld, Restrukturisasi Teori Hubungan Internasional
Kajian reflektivis ini pada dasarnya termotivasi oleh Aristotelian project, agar tidak terjadi kemiskinan ilmu dalam kajian Hubungan Internasional. Maksudnya, Ilmu Hubungan Internasional harus segera bergerak untuk emansipasi manusia, bukan hanya kajian objektif yang tidak membawa perubahan bagi kehidupan manusia di dunia.

Reflektivitas Teoretis secara umum dapat didefiniskan sebagai refleksi teoretis pada pembentukan teori itu sendiri. Terdapat beberapa elemen inti yang membangun definisi tersebut; 1) Kesadaran diri akan premis-premis dasar, 2) Pengakuan terhadap hakikat dimensi politik normatif dari paradigma-paradigma dan tradisi ilmu yang dipertahankan oleh paradigma tersebut, 3) Penerimaan bahwa penilaian yang beralasan tentang jasa paradigma yang berlawanan adalah mungkin ketika tidak adanya bahasa observasi yang netral.

Paradigma positivis membentuk teori dengan menggunakan generalisasi atas pembuktian-pembuktian yang telah dilakukan, dengan demikian positivis membentuk teori atas dasar pembuktian asumsi awal yang teridentifikasi dengan jelas. Kesalahan positivis bagi reflektivis adalah bahwa positivis memisahkan antara subjek dan objek yaitu pemisahan antara kajian dengan manusia yang mengaji fenomena. Pendekatan positivis menolak peran vital yang dimainkan oleh komunitas-komunitas penstudi ilmu Hubungan Internasional dalam menelurkan dan mengabsahkan ilmu pengetahuan.

Salah satu doktrin positivis yang sangat ditentang oleh ilmuwan reflektivis adalah ‘truth as correspondence’, yang artinya ‘kebenaran sebagai sebuah kesesuaian’. Artinya, bagi positivis, kebenaran adalah ketika adanya kesesuaian antara asumsi-asumsi dengan realitas empiris. Positivis memisahkan antara objek yang dikaji dengan pengkaji. Mereka menolak penyatuan tersebut. Sebagai akibat dari penolakan ini, pendekatan positivis banyak menemukan persoalan-persoalan yang tidak dapat dijawab, bahkan persoalan tersebut tidak sampai ke permukaan. Persoalan-persoalan tersebut menghilang akibat terpisahnya objek dengan subjek.

Pendekatan post-positivist/teori reflective menolak dengan keras bahwa standar-standar objektif yang telah dibuat oleh positivis akan terpisah dengan pemikiran dan tindakan manusia. Teori ini dikemukakan dari karya-karya Kuhn dan Feyerabend, juga manifesto dalam analisa Wittgenstenian tentang ‘permainan bahasa’, penafsiran neo-pragmatis tentang hermeneutic filosofis Gadamerian, dan analisis Folcauts tentang diskursus kekuatan ilmu pengetahuan. Seluruh kajian tersebut fokus dalam menentang postulat positivisme tentang pemisahan subjek dan objek.

Paradigma ‘permainan bahasa’, ‘tradisi’, dan diskursus tidak hanya menginterpretasikan fakta-fakta/bukti-bukti dalam penelitian, tapi dapat memilah bukti-bukti mana yang valid dan mempunyai nilai dan akan diprioritaskan sebagai data dalam analisis. Ini disebabkan oleh metode reflektif mempertanyakan standar objektif yang digunakan dalam pendekatan positivist. Teori reflektif menolak gagasan positivis bahwa standar yang mereka gunakan itu bersifat ‘given’, atau sudah ketentuan alamiahnya seperti itu. Namun mereka percaya bahwa standar tersebut dibuat oleh manusia, tidak diadopsi dari alam melainkan diadopsi dari anggota dari komunitas-komunitas tertentu.

Pendekatan reflektivis adalah kesadaran diri teoretis. Disatu sisi reflektivis mengakui adanya keterkaitan yang erat antara fakta dan nilai, disisi lain mereka juga mengakui adanya agenda politik dan sosial komunitas-komunitas khusus dalam teori yang mereka bangun. Reflektivis juga sangat terbuka dengan teori-teori yang berseberangan dengan mereka guna mendapatkan pemahaman yang lebih baik.

Masalah ‘Incommensurability’ (hal yang tidak dapat diperbandingkan)

Positivis menolak penilaian-penilaian subjektif tentang suatu hal, karena menurutnya hal itulah yang menyebabkan observer terperangkap dalam kerangka kerja dari teori, harapan, pengalaman, dan bahasa-nya, dan hal itu disebabkan oleh ketidakmampuan kita untuk berkomunikasi dengan observer yang memiliki paradigma yang berbeda. Dengan begitu, positivis menolak ‘incommensurability’. Sebaliknya, teoritisi reflektif menerima incommensurability sebagai konsekuensi penting fakta bahwa standar ilmu pengetahuan yang spesifik sebenarnya behubungan erat satu sama lain dalam kompetisi agenda sosial politik. Artinya, incommensurability dipandang perlu diperhatikan mengingat adanya kepentingan dibelakang ilmu pengetahuan tersebut.

Dalam diskursus normative, teoritisi reflektif menemukan adanya penghalang yang sangat kuat dalam model positivisme ilmu sosial yang membuat kita sedikit tidak bisa menemukan bagaimana alasan-alasan tersebut ada dan alasan tersebut berfungsi. Intinya, teori reflektif telah menjadi suatu pertanda akan adanya restrukturasi Ilmu Hubungan Internasional menjadi ilmu yang lebih emansipatif dan kritis terhadap situasi internasional yang terjadi.

Andrew Linklater, Permasalahan Teori Hubungan Internasional Tingkat Lanjut: Sebuah ‘Sudut Pandang Teori Kritis’
Pada akhir 1970an, realisme dan rasionalisme klasik berkembang dengan lebih ketat dan canggih. Namun demikian, semakin berkembangnya realisme dan rasionalisme membuat pertumbuhan teori penentangnya menjadi pesat, termasuk di dalamnya Marxisme, teori kritis, post-modernisme, dan feminisme. Yang jelas, perspektif kritis ini lahir akibat banyaknya persoalan yang tidak dapat dijawab oleh mainstream tersebut. Secara khusus, kita akan membahas agenda teori kritis sebagai babak baru dalam teori hubungan internasional.

Penyertaan dan Perkecualian: Sebuah penyelidikan awal
Teori kritis sekarang tidak dianggap lagi sebagai ekspresi prinsipil dari Marxisme, sebab teori kelas tidak lagi relevan dalam menjelaskan dominasi-dominasi yang terjadi dalam hubungan internasional dan global. Isu-isu dominasi militer, kebangsaan/etnis, ras dan gender lebih diperhatikan secara khusus dalam perspektif ini. Adalah Habermas yang mengkritik, atau setidaknya menambahkan teori Marx bahwa perubahan tidak hanya akan terjadi menurut hukum alam ‘perjuangan kelas’, tapi pemahaman yang lebih mendalam tentang pembelajaran moral telah memainkan peranan penting dalam perkembangan manusia. Habermas menekankan pada universalitas moral. Pendukung teori ini termasuk beberapa feminis dan post-modernis.

Terdapat dua point yang harus kita garis bawahi di sini, pertama, cara-cara manusia menyertakan atau mengecualikan yang lain berdasarkan ras, gender, kebangsaan, dll (termasuk juga dengan lingkungannya) seperti yang telah kita bahas di atas, harus menjadi sentral dalam penelitian sosial. Kedua, kepedulian untuk menolak seluruh bentuk pengecualian (diskriminasi) akan menghormati moral universal manusia. Tampaknya, teori kritis memang akan fokus terhadap perkembangan manusia melalui perjuangan akan persamaan manusia dan persamaan hak-hak dasarnya.

Permasalahan Normatif, Sosiologis dan Praxeologis
Teori kritis dalam hubungan internasional concern terhadap hal-hal normatif sosiologis, dan praxeologis. Normatif berarti perlunya norma dalam ilmu hubungan internasional agar terciptanya sebuah tatanan dunia yang lebih bermoral dan toleran. Sosiologis berarti perlunya pedekatan-pendekata yang lebih kepada interaksi manusia agar makna hubungan internasional itu sendiri menjadi eksis, danilmu hubungan internasional bukan hanya sebagai explanatory, tapi juga understanding. Praxeologis berarti perlunya peran manusia untuk eksis dalam hubungan internasional secara aktif sebagai pencegah terjadinya penurunan moral dalan konteks inter-state relations.

Critical Review
Kami menganggap bahwa teori kritis dalam hubungan internasional harus dikembangkan agar ilmu hubungan internasional tidak hanya menjadi ilmu yang memberikan informasi, tapi juga bersifat emansipatory. Kita ambil contoh konkrit negara kita Indonesia yang termasuk dalam kategori non-western dan non-European country. Hegemoni negara barat dan eropa agaknya telah menyebabkan Indonesia sulit untuk berkembang dan berdikari. Masih tingginya stigma bahwa negara dunia ketiga itu masih bersifat barbarian dan paganisme merupakan cap yang harus dihapuskan. Kami yakin, dengan berkembangnya teori reflektif dan kritis dalam hubungan internasional akan membantu dunia untuk secara bersama-sama berkembang tanpa ada exclusion. Kami beranggapan bahwa benar manusia adalah sama, dengan demikian tidak ada hegemoni, atau kuasa negara lain atas negara kita yang menyebabkan kita sulit berkembang.

Comments

Popular posts from this blog

International Regime “Suatu Pengantar”

Perspektif Behaviourism dalam Memahami Perubahan Paradigma Politik Nuklir Iran pada Masa Pemerintahan Hassan Rouhani