Perspektif Behaviourism dalam Memahami Perubahan Paradigma Politik Nuklir Iran pada Masa Pemerintahan Hassan Rouhani

Perspektif behaviourism menawarkan pandangan yang sangat berbeda dengan realisme dalam konteks analisis kebijakan luar negeri. Realisme yang sangat kental dengan tradisi rasional, dalam artian melihat negara sebagai actor rasional yang dihadapkan pada pilihan kebijakan luar negeri yang harus sesuai dengan kepentingan nasional. Sehingga, pola analisis kebijakan luar negeri yang ditawarkan oleh realism adalah bahwa negara-negara bertindak sesuai dengan kalkulasi untung-rugi.

Di satu sisi, analisis dari perspektif realism sangat tajam dalam melihat motivasi dan kepentingan negara dalam bertindak pada area internasional. Namun demikian, seringkali perspektif ini kehilangan insight dalam menganalisis dinamika dan perubahan tindakan negara, khususnya dalam pergantian kepemimpinan negara maupun kecenderungan arah kebijakan luar negeri yang dipengaruhi oleh karakter pembuat kebijakannya. Aspek kongnisi, prinsip dan keyakinan individu seringkali dikesampingkan sementara negara sebagai entitas dijalankan oleh individu-individu, khususnya yang menempati posisi strategis seperti presiden, perdana menteri, menteri, senator, dan jabatan strategis lainnya dalam negara. Behaviorism hadir untuk menawarkan analisis yang lebih berorientasi pada individu pembuat keputusan yang terkadang dipengaruhi oleh persepsi dan interpretasi yang berbeda terhadap kondisi domestik dan internasional. Penilaian-penilaian terhadap situasi dan kondisi ini juga pada akhirnya mempengaruhi kebijakan. Senada dengan hal tersebut, Hermann juga berpendapat bahwa karakteristik personal seorang pemimpin mempengaruhi sikap dan pilihan kebijakan luar negeri (Mintz, 2007, p. 158).

Selanjutnya, Harold dan Margaret Sprout juga mengemukakan tiga elemen dasar yaitu aktor, lingkungan yang mengelilingi aktor, dan hubungan antara aktor dan lingkungannya tersebut untuk menilai proses pengambilan kebijakan luar negeri (Adnan, 2012, p. 663).

Secara umum, Mintz mengajukan enam karakteristik behavioral dalam Hubungan Internasional khususnya pada analisis kebijakan luar negeri. Karakteristik tersebut adalah bahwa 1) negara dipimpin oleh pemimpin yang cenderung menghasilkan keputusan yang tidak rasional dan belum optimal. 2) Terdapat keterbatasan kapabilitas pemimpin dalam memproses informasi, dengan demikian pemimpin negara fokus pada alternatif dan dimensi yang sempit. 3) Bias mempengaruhi keputusan baik pada level individu, kelompok, maupun organisasi. 4) Fokus pada proses dan outcome, tidak hanya outcome. 5) Asumsi pilihan rasional seringkali gagal akibat adanya faktor framing, emosi dan sebagainya. 6) Loss aversion, atau kecenderungan untuk menghindari kerugian daripada memaksimalkan keuntungan (Mintz, 2007, pp. 159-160). Enam karakteristik yang diajukan oleh Mintz ini dapat menjadi instrumen umum untuk menganalisis kebijakan luar negeri dari perspektif individu pembuat keputusannya.

Dalam tulisan ini, penulis akan mengoperasionalisasikan teori behaviorism dalam analisis kebijakan luar negeri Iran di era kepemimpinan Hassan Rouhani. Perbedaan paradigma dan pendekatan yang dilakukan Rouhani dalam isu nuklir cukup menarik untuk ditinjau karena perbedaan yang cukup signifikan dengan pemerintahan sebelumnya yang dipimpin oleh Ahmadinejad. Bila pada masa Ahmadinejad kita lebih sering menyaksikan kontroversi pengembangan nuklir Iran dan pembangkangan terhadap PBB dan negara-negara yang menentang nuklir Iran, maka pada era Rouhani kita menyaksikan kebijakan luar negeri yang lebih soft dengan diterimanya nuclear talks dengan PBB, negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB plus Jerman yang pada akhirnya menghasilkan perjanjian pembatasan aktivitas nuklir Iran. Perjanjian itu mencakup aturan mengenai pengawasan lokasi fasilitas nuklir di Iran sehingga pengawas PBB dapat meninjau lokasi militer dengan persyaratan tertentu dimana Iran dapat menolak pemberian akses. Di pihak lain, PBB akan membatasai embargo senjata dan sanksi rudal hanya akan berlaku dalam lima dan delapan tahun lagi (BBC, 2015). Tercapainya kesepakatan ini dinilai sebagai sebuah kemajuan di bawah pimpinan Rouhani dibandingkan dengan pemerintahan Ahmadinejad yang cenderung resisten terhadap Barat. Ini menunjukkan adanya perbedaan karakter dari kedua pemimpin negara terutama dalam menyelesaikan masalah domestiknya dan menyusun strategi kebijakan luar negerinya.

Pertanyaan berikutnya adalah; Bagaimana perspektif behaviorism ini dapat menjelaskan perbedaan pendekatan antara Rouhani dan pemerintahan sebelumnya dalam kasus pengembangan nuklir di Iran? Bagaimana karakteristik Rouhani sebagai pemimpin Iran mempengaruhi pola pengambilan kebijakan luar negerinya?

Program nuklir Iran di bawah Pemerintahan Ahmadinejad 

Untuk memahami bahwa karakteristik pemimpin berpengaruh terhadap decision making process penting untuk mengemukakan komparasi antar era kepemimpinan. Dalam kasus ini, penulis mengambil era pemerintahan Ahmadinejad sebagai pembanding bagi era Hassan Rouhani. Shifting paradigm ini akan dibahas dalam kerangka teori behaviorism dengan melihat karakteristik individu pemimpin berdasarkan latar belakang, preferensi ideologis, dan penyampaian verbalnya dan bagaimana hal ini mempengaruhi kebijakan luar negerinya, khususnya dalam isu pengembangan energy nuklir. Persoalan nuklir pada era Ahmadinejad menjadi topik yang sangat panas di tataran internasional. Berbagai pro kontra menghiasi kebijakan Iran untuk tetap melakukan pengembangan nuklirnya meskipun Ahmadinejad telah menyuarakan bahwa pengembangan nuklir Iran adalah untuk tujuan damai. Namun demikian, pihak Barat tidak percaya dengan niat Iran karena sangat minimnya transparansi tentang pengembangan nuklir Iran. Terlebih, statement yang diungkapkan Ahmadinejad untuk merespon resistensi Barat seringkali kontra produktif.

Pada September 2009, Ahmadinejad sempat menyampaikan bahwa meskipun Iran bersedia untuk duduk bersama membahas masalah pengembangan nuklir ini, namun Iran tidak akan menghentikan aktivitas pengayaan uraniumnya dan tidak akan bernegosiasi terkait hak negaranya untuk mengembangkan uranium (Foxnews, 2009). Pernyataan ini disambut oleh International Atomic Energy Agency (IAEA) untuk mempertimbangkan penjatuhan sanksi yang lebih berat terhadap Iran. Bahkan pada tahun 2012, sanksi ekonomi yang lebih keras dijatuhkan pada Iran dengan melarang negara-negara untuk mengimpor minyak dari Iran. Hal ini menyebabkan anjloknya angka ekspor Iran dari 2.5 juta barrel menjadi 1.4 barrel per hari (Shaffer, 2015).

Dalam situasi yang sangat panas ini, secara eksplisit Ahmadinejad juga mengungkapkan ketidaksukaannya terhadap Israel dan menaruh kecurigaan bahwa Israel suatu saat akan menyerang Iran. Oleh karena itu, Iran harus mempersiapkan pertahanan yang maksimal untuk menghadapi ancaman di masa yang akan datang. Sudut pandang ini dipengaruhi oleh tindakan Israel yang selalu memperluas pendudukannya di Palestina yang merupakan bentuk agresivitas suatu negara. Ahmadinejad juga sempat menyatakan bahwa pemerintahan Israel merupakan “an insult to humankind” (Gladstone, 2012). Cukup radikalnya Iran dalam menanggapi respon internasional tidak dapat dijelaskan tanpa melihat pada sosok dan pribadi dari Ahmadinejad itu sendiri.

Sosok Ahmadinejad saat itu sangat dipengaruhi oleh latar belakangnya sebagai akademisi yang cemerlang dan sangat mencintai teknologi. Ahmadinejad memperoleh nilai yang tinggi pada di bangku pendidikan (Editors, n.d.). Ahmadinejad menamatkan kuliah Strata 1 di University of Science and Technology (Elm-o-Sanaat) dalam bidang teknik sipil dan meraih peringkat 132 terbaik dari 400.000 siswa di tingkat nasional dalam ujian masuk universitas. Ahmadinejad juga menerima gelar master dari universitas yang sama dan bergabung dalam kelompok ilmuwan Civil Engineering College of University of Science and Technology. Gelar Doktor bidang teknik pun diperoleh pada tahun 1987 (Admin, History of Iran: Dr. Mahmoud Ahmadinejad, 2015). Dalam aspek militansi, Ahmadinejad juga ikut serta sebagai pasukan relawan dalam perang melawan Iran pada 1980. Saat itu Ahmadinejad tergabung ke dalam Islamic Revolution Guards Engineering Corps. Pada April 2003, Ahmadinejad ditugaskan untuk menjadi Gubernur Tehran oleh Majelis Pusat yang didominasi oleh aliran garis keras Iran Developers Coalition (Etelaf-e Abadgaran-e Iran-e Islami) (Admin, History of Iran: Dr. Mahmoud Ahmadinejad, 2015). Pengalaman sebagai relawan dalam pertempuran melawan invasi Iraq, kecerdasan intelektual dan kecintaannya terhadap teknologi inilah yang membentuk visi Ahmadinejad untuk membangun negaranya dengan basis teknologi, di mana teknologi nuklir menjadi symbol pengembangan teknologi tingkat tinggi dan mendukung kemandirian energi nasional. Secara politis, nuklir juga dipahami sebagai alat keamanan nasional yang akan memberikan pengaruh besar.

Besarnya pengaruh lingkungan garis keras yang digeluti oleh Ahmadinejad juga merupakan jawaban atas resistennya Ahmadinejad terhadap pihak Barat yang merongrong pengembangan nuklir Iran. Sebab itulah, situasi seringkali menjadi semakin memanas akibat pernyataan-pernyataan Ahmadinejad yang menunjukkan sikap tidak berkompromi untuk pengembangan nuklirnya. Ahmadinejad juga dikenal sebagai sosok yang religius dan sangat dekat dengan masyarakat. Ia juga dikenal sebagai loyalis Pemimpin Revolusi Islam Iran, Ayatollah Khomeini. Pemahaman yang fundamental terhadap agama ini menjadikan Ahmadinejad sebagai sosok yang terkesan anti-Barat dan anti-Israel.

Dalam konteks hubungan dengan Israel, Ahmadinejad juga kerap menyamakan antara Israel dan Zionis di mana Zionist diklaim sebagai gangguan bagi dunia (Al-Jazeera, 2013). Inilah yang boleh jadi menjadi penyebab kerasnya sikap Iran terhadap Barat dan secara khusus Israel pada masa itu. Sehingga, dalam persoalan nuklir pun, Iran di bawah Ahmadinejad enggan untuk melakukan negosiasi-negosiasi yang akan mengancam keberlangsungan program nuklirnya. Sikap Ahmadinejad ini tidak selamanya baik untuk Iran karena akibat sanksi embargo tersebut Iran mengalami kemunduran yang cukup signifikan dalam perekenomiannya. Dalam perspektif behaviorism inilah yang disebut dengan ‘poor judgment’ (Mintz, 2007, p. 158) yang pada akhirnya membawa decision maker pada keputusan yang tidak berkualitas (suboptimal).

Hassan Rouhani dalam Politik Nuklir Iran Hassan Rouhani: Diplomatic Syeikh

Hassan Rouhani adalah presiden Iran ke-7 yang terpilih pada tahun 2013 menggantikan Ahmadinejad. Rouhani lahir di Sorkheh, Iran pada 12 November 1948. Rouhani merupakan politisi sekaligus ulama yang telah berkiprah di Iran sejak masa perjuangan Revolusi Islam. Rouhani merupakan tamatan Universitas Tehran pada tahun1972 pada studi ilmu Hukum dan mendapatkan gelar doktoralnya di Glasgow Caledonian University, Skotlandia dengan disertasi Hukum Islam. Disertasi doktoral Rouhani yang berjudul ‘The Flexibility of Shariah (Islamic Law) with Reference to the Iranian Experience’ (Peterson, 2013) cukup menjelaskan bahwa Rouhani adalah seseorang yang memiliki pemikiran lebih terbuka. Dalam sejarah kehidupannya, Rouhani juga sempat menjadi aktivis dalam melawan rezim Reza Shah Pahlavi dan menjadi pendukung revolusi islam di bawah Ruhollah Khomeini. Bersama Imam Khomeini, Rouhani ikut mengasingkan diri ke Perancis untuk menghindari kejaran SAVAK (Organisasi Polisi Rahasia dan Intelijen Iran) yang merupakan bentukan Shah Reza Pahlavi diperkuat bantuan Amerika (CIA). Setelah kembali ke Iran pasca revolusi islam, Rouhani terpilih sebagai anggota Majelis (legislative Iran) selama 5 periode. Rouhani juga pernah menjabat sebagi anggota Majelis Tinggi Pertahanan Nasional Iran dan sebagai panglima angkatan udara Iran. Pada 1989, Rouhani ditugaskan sebagai sekretaris Dewan Keamanan Nasional Tertinggi pada masa Presiden Hashemi Rafsanjani (1989-1997) dan Mohammad Khatami (1997-2005) (Britannica, 2015).yang merupakan tokoh-tokoh reformis Iran.

Rouhani aktif dalam kegiatan akademis dan pernah menjabat sebagai presiden Center for Strategic Research. Think tank ini dikenal sebagai kelompok reformis, di mana memiliki tujuan untuk menjadikan Iran sebagai negara yang lebih terbuka baik di dalam negeri maupun di tingkat internasional. Hingga tahun 2011, Rouhani setidaknya telah menulis 17 buku yang berkaitan dengan hukum Islam, politik, ekonomi, keamanan, diplomasi dan politik nuklir (Admin, Biography of Dr.Hassan Rouhani, Honorable President of Islamic Republic of Iran, n.d.). Pada tahun 2003 dan 2005 Rouhani menjadi ketua delegasi Iran dalam negosiasi dengan IAEA dan komunigtas internasional terkait persoalan nuklir Iran. Dalam posisinya sebagai diplomat Iran, Rouhani memiliki reputasi sebagai diplomat yang moderat dan pragmatis. Untuk inilah Rouhani sering dijuluki sebagai ‘diplomat sheikh’.

Karakter Rouhani ini disukai oleh Barat namun di dalam negeri Rouhani juga mendapat kritikan, terutama oleh garis keras yang menganggap lemah terhadap pihak Barat yang menginginkan kontrol ketat terhadap program nuklir Iran (Britannica, 2015).

Setelah terpilih sebagai presiden, Rouhani mengkampanyekan perbaikan hubungan dengan Barat. Pada pidatonya di PBB, Rouhani menyampaikan kritiknya terhadap sanksi internasional yang diberikan kepada Iran. Rouhani juga menyampaikan keinginan Iran untuk bekerjasama dalam program nuklir Iran (Britannica, 2015). Rouhani percaya dengan adanya kerjasama maka akan tercipta rasa saling percaya antara Iran dan Barat.

Gambaran umum latar belakang Rouhani di atas dapat memberikan suatu refleksi tentang bagaimana karakter Hassan Rouhani sebagai pemimpin. Secara utuh Rouhani tidak dapat dikategorikan sebagai tokoh pro-Barat karena Rouhani sendiri adalah loyalis Imam Khomeini yang secara nyata menganggap AS sebagai musuh. Rouhani sendiri ikut berjuang untuk menjatuhkan Shah Reza Pahlevi yang notabene adalah diktator Iran yang sangat pro-Barat. Namun demikian kedewasaan dan keterbukaan sudut pandang Rouhani dipengaruhi oleh lingkungan pendidikan dan lingkungan pergaulannya dengan kaum reformis. Menyelesaikan gelar doktoral di Skotlandia dan aktivitasnya pada Center for Strategic Research Iran yang didominasi oleh tokoh reformis menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi pendekatan Rouhani dalam menyelesaikan masalah. Kebutuhan untuk melepaskan diri dari jeratan sanksi internasional yang menghambat lajunya ekonomi Iran menjadi prioritas Rouhani dibandingkan dengan sikap keras yang sebaliknya berdampak buruk bagi negaranya, baik secara ekonomi maupun secara politis dalam pergaulan internasional.

Perubahan peta politik nuklir Iran di bawah pemerintahan Hassan Rouhani Berbeda dengan pemerintahan Ahmadinejad yang menolak kompromi dalam pengembangan nuklir Iran, terpilihnya Hassan Rouhani pada Juni 2013 sebagai presiden Iran dianggap sebagai angin segar bagi pihak Barat, terutama Amerikat Serikat. Rouhani dianggap sebagai tokoh yang lebih moderat, pragmatis dan lebih mudah untuk diajak ke meja perundingan dibandingkan dengan Ahmadinejad (Lyons, 2015). Bahkan sejak awal kampanye pemilihan presiden Iran pada tahun 2013 tersebut, Rouhani telah memposisikan dirinya sebagai kritik terhadap kebijakan ekonomi dan kebijakan luar negeri konfrontasional Ahmadinejad (Britannica, 2015). Rouhani berjanji akan menyelesaikan permasalahan nuklir Iran dengan dunia internasional, khususnya pihak Barat agar Iran tidak lagi terisolasi dari dunia internasional. Iran telah mengalami embargo dan isolasi dari dunia internasional selama hampir dua dekade akibat keputusan Ahmadinejad yang menolak permintaan PBB untuk menunda program pengayaan uranium. PBB menghimbau kepada seluruh negara-negara di dunia untuk memutus suplai teknologi maupun material tertentu yang berkaitan dengan program nuklir Iran. Posisi Iran pun menjadi semakin sulit akibat kebijakan garis keras yang dilakukan oleh Ahmadinejad (Beaumont & Tait, 2006).

Terpilihnya Hassan Rouhani dipandang oleh media barat sebagai munculnya semangat untuk mengakhiri penderitaan Iran dari berbagai sanksi tersebut serta akan mulainya era baru pergaulan Iran di tingkat internasional. Keberpihakan Rouhani terhadap keterbukaan politik dan revitalisasi hubungan Iran dengan Barat diyakini akan meredakan ketegangan internasional yang diakibatkan oleh program nuklir Iran. Barat juga menganggap bahwa Rouhani adalah seorang politisi dan diplomat yang berpengalaman, sehingga membuka harapan untuk tercapainya kesepakatan (Dehghan, 2013).

Optimisme akan perubahan arah kebijakan nuklir Iran di bawah pemerintahan Rouhani ditandai dengan ‘historic phone call’ antara Presiden AS Barack Obama dengan Hassan Rouhani pada 27 September 2013. Kontak langsung ini adalah kali pertama terjadi antara Presiden AS dan Iran sejak revolusi Islam tahun 1979. Perbincangan ini terkait dengan prospek penyelesaian masalah nuklir dan sanksi embargo terhadap Iran (Roberts & Borger, 2013). Optimisme ini akhirnya terbukti melalui tercapainya kesepakatan berbentuk Joint Plan of Action (JPA) sebagai persetujuan tahap awal. JPA ini disetujui pada 24 November 2013 dan menandai era baru penyelesaian sengketa nuklir Iran.

Sebagian besar berpendapat bahwa kesepakatan ini adalah kemajuan yang sangat signifikan selama hampir sepuluh dekade krisis karena telah berhasil membangun komunikasi yang positif antara Iran dan Barat, membatasi program nuklir Iran serta pengurangan embargo dan penghapusan pembekuan aset bagi Iran (Lyons, 2015). Dua tahun setelah kesepakatan JPA disetujui, akhirnya pada 14 Juli 2015 disepakati kesepakatan komprehensif antara pihak negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB plus Jerman tentang Nuklir Iran. Upaya Barat untuk menghambat ploriferasi nuklir di dunia khususnya kawasa Timur Tengah telah berhasil dengan dicapainya kesepakatan ini dengan Hassan Rouhani sebagai tokoh sentral Iran. Kesepakatan ini sekaligus mengakhiri panasnya hubungan Iran-Barat dalam masalah nuklir (Borger, 2015).

Dampak dari kesepakatan ini juga pada akhirnya mengakhiri masa isolasi Iran dari hubungan internasional dan era baru untuk mengembangkan kembali ekonomi Iran yang selama ini memiliki tren negatif akibat sanksi internasional. Keberhasilan Rouhani dalam normalisasi hubungannya dengan Barat telah berdampak positif terhadap kondisi di Iran. Meskipun terdapat pro dan kontra di dalam negeri, namun Rouhani berhasil mengupayakan pengurangan sanksi internasional terhadap Iran. Profil Iran di mata internasional pun saat ini bukan lagi sebagai negara yang anti kompromi dan tertutup sebagai mana dialami Iran pada masa pemerintahan Ahmadinejad.

Tanpa melemahkan sosok Ahmadinejad sebagai pemimpin Iran sebelumnya, paradigma dan pendekatan Rouhani dinilai lebih komprehensif. Pilihan kebijakan luar negeri Rouhani dalam persoalan nuklir Iran ini pada akhirnya tidak dapat dilepaskan dari latar belakang, karakter, dan keyakinan (belief) yang dimiliki. Dengan demikian, melalui perbandingan politik nuklir Iran pada era Ahmadinejad dan Hassan Rouhani, dapat dipelajari bahwa analisis kebijakan luar negeri akan lengkap jika aspek kognitif dari pemimpin dilihat sebagai faktor yang berpengaruh signifikan terhadap perumusan kebijakan luar negeri negaranya.

Simpulan

Penyelidikan awal terhadap tiga elemen yang diajukan Harold dan Margaret Sprout yaitu tokoh, lingkungan dan hubungan tokoh dengan lingkungannya ternyata memberikan pemahaman terhadap perbedaan paradigma politik nuklir Iran di bawah pemerintahan Ahmadinejad dan Hassan Rouhani. Karakter Rouhani sebagai reformis yang terbuka serta lingkungan akademis dan politik yang digelutinya mempengaruhi cara pandang Rouhani dalam penyelesaian masalah nuklir Iran.

Dapat disimpulkan pula bahwa karakter pemimpin yang berbeda pada akhirnya juga mempengaruhi proses dan outcome kebijakan luar negerinya. Melalui tulisan ini, setidaknya dua dari enam karakteristik behaviorism yang diajukan Mintz (2007), telah terkonfirmasi. Pertama, pada kasus politik nuklir Iran era Ahmadinejad dan Rouhani, dapat dipelajari bahwa persepsi dan mispersepsi pemimpin memperkecil maupun memperbesar kemungkinan kerjasama dan normalisasi hubungan antara Iran dan Barat. Dengan demikian kemampuan decision makers dalam mengolah informasi menjadi faktor penentu dalam kebijakan luar negeri. Kedua, konsep ‘loss aversion’, yaitu kecenderung aktor untuk menghindari kerugian dari pada meraih keuntungan berlaku pada politik nuklir di era Rouhani. Dibandingkan dengan meraih keuntungan dari program nuklir yang tidak dapat dikontrol, Rouhani lebih memilih mengurangi kerugian akibat sanksi internasional dan citra Iran yang negative di mata internasional khususnya Barat.

Pada akhirnya, behaviorism dapat hadir sebagai challenge maupun komplementer bagi teori rasional. Teori rasional mungkin tidak dapat menjangkau ke dalam aspek kognitif aktor karena sangat fokus pada persoalan struktur sistem yang mempengaruhi tindakan aktor. Namun, penggabungan antara dua model analisis ini berkemungkinan untuk menghasilkan analisis kebijakan luar negeri yang lebih komprehensif.

Insight

Melalui tulisan yang masih bersifat studi awal ini, dapat ditinjau tentang pentingnya teori behaviorism dalam analisis kebijakan luar negeri. Namun demikian, masih terdapat aspek yang harus dikaji lebih dalam untuk melengkapi pemahaman terhadap behaviorism dan pengaplikasiannya. Secara khusus dalam dalam isu nuklir Iran, aspek yang dapat diteliti untuk melengkapi adalah framing, yaitu bagaimana Rouhani menggalang dukungan politik konstituen domestik baik dengan Pemimpin Tertinggi Iran Imam Khamenei maupun dengan masyarakat.

Referensi 
Admin. (2015, September 29). History of Iran: Dr. Hassan Rouhani. Retrieved from www.iranchamber.com: http://www.iranchamber.com/history/hrohani/hassan_rohani.php

Admin. (2015, September 29). History of Iran: Dr. Mahmoud Ahmadinejad. Retrieved from Iran Chamber Society: http://www.iranchamber.com/history/mahmadinejad/mahmoud_ahmadinejad.php

Admin. (n.d.). Biography of Dr.Hassan Rouhani, Honorable President of Islamic Republic of Iran. (The Official Site of the President of The Islamic Republic of Iran) Retrieved October 1, 2015, from www.president.ir: http://www.president.ir/en/president/biography

Adnan, M. (2012, Juli-Desember). Foreign Policy and Domestic Constraints: A Conceptual Account. South Asian Studies: A Research Journal of South Asian Studies, Vol. 29 No. 2, 657-675.

Al-Jazeera. (2013, August 2). Al Jazeera: Politics. Retrieved from www.aljazeera.com: http://www.aljazeera.com/video/middleeast/2013/08/20138292630448838.html

BBC. (2015, Juli 14). BBC Indonesia: Dunia. Retrieved September 28, 2015, from BBC Indonesia: http://www.bbc.com/indonesia/dunia/2015/07/150714_dunia_iran_nuklir_reaksi

Beaumont, P., Tait, R. (2006, December 24). Middle East: UN sanctions hit Iran after call by Bush. Retrieved from www.theguardian.com: http://www.theguardian.com/world/2006/dec/24/usa.iran

Borger, J. (2015, July 14). Middle East: Iran nuclear deal: world powers reach historic agreement to lift sanctions. Retrieved from www.theguardian.com: http://www.theguardian.com/world/2015/jul/14/iran-nuclear-programme-world-powers-historic-deal-lift-sanctions

Britannica, E. o. (2015, July 14). Hassan Rouhani: Presiden of Iran. Retrieved September 30, 2015, from www.britannica.com: http://www.britannica.com/biography/Hassan-Rouhani

Dehghan, S. K. (2013, June 15). Middle East: Iran: Hassan Rouhani wins presidential election . Retrieved from www.theguardian.com: http://www.theguardian.com/world/2013/jun/15/iran-presidential-election-hassan-rouhani-wins

Editors, B. (n.d.). People: Mahmoud Ahmadinejad. (A&E Television Networks) Retrieved September 30, 2015, from www.biography.com: http://www.biography.com/people/mahmoud-ahmadinejad-38656#political-activism

Foxnews. (2009, September 7). Foxnews. Retrieved from www.foxnews.com: http://www.foxnews.com/story/2009/09/07/ahmadinejad-iran-will-never-negotiate-over-nuclear-rights.html

Gladstone, R. (2012, Agustus 17). Sections: Middle East. Retrieved from The New York Times: http://www.nytimes.com/2012/08/18/world/middleeast/in-iran-ahmadinejad-calls-israel-insult-to-humankind.html?_r=0

Lyons, K. (2015, July 14). Middle East: Iran nuclear talks: timeline . Retrieved from www.theguardian.com: http://www.theguardian.com/world/2015/apr/02/iran-nuclear-talks-timeline

Mintz, A. (2007). Behavioral IR as a Subfield of International Relations. In International Studies Review, Vol. 9, No. 1 (p. 158). Retrieved from http://www.jstor.org/stable/4621801 .

Peterson, S. (2013, June 20). Focus: Hassan Rohani: What it means to be a centrist in Iran. Retrieved from www.csmonitor.com: http://www.csmonitor.com/World/Middle-East/2013/0620/Hassan-Rohani-What-it-means-to-be-a-centrist-in-Iran

Roberts, D., & Borger, J. (2013, September 28). Middle East: Obama holds historic phone call with Rouhani and hints at end to sanctions. Retrieved from www.theguardian.com: http://www.theguardian.com/world/2013/sep/27/obama-phone-call-iranian-president-rouhani

Shaffer, B. (2015, January 27). Policy Analysis: A Nuclear Deal with Iran: The Impact on Oil and Natural Gas Trends. Retrieved from The Washington Institute for Near East Policy: http://www.washingtoninstitute.org/policy-analysis/view/a-nuclear-deal-with-iran-the-impact-on-oil-and-natural-gas-trends

Comments

Popular posts from this blog

International Regime “Suatu Pengantar”

Catatan Kuliah: Critical Theories